Saat mendengar kata produktif, kita sering mengaitkannya dengan hal-hal yang positif; hasil yang lebih banyak, hidup yang dinamis, kesuksesan, dan masih banyak lagi.
Tidak heran, kita terus berlomba menjadi yang paling produktif. Dengan senang hati menghabiskan waktu berjam-jam untuk menghasilkan sesuatu, bahkan jika itu sudah di luar jam kerja. Tanpa disadari, keinginan kita untuk produktif mulai salah arah, berubah menjadi toxic productivity.
Toxic productivity, ketika usaha jadi produktif malah berujung burn out
Aktivitas produktif bisa berubah menjadi toxic atau “beracun” saat usaha kita menjadi produktif malah membuat kita merasa tertekan dan bersalah jika beristirahat atau sejenak mengambil jeda.
Toxic productivity tidak hanya memengaruhi individu; tapi juga budaya kerja atau organisasi secara keseluruhan.
Gambaran mudahnya, jika Motivans adalah seorang pekerja remote yang tanpa sadar telah mengadopsi gaya hidup toxic productivity. Setiap hari Motivans punya kebiasaan mengirimkan ide-ide strategi di percakapan grup meski sudah di luar jam bekerja. Cepat atau lambat, rekan Motivans pun akan terpengaruh dan terbawa gaya hidup ini. Bahkan mungkin yang awalnya tidak peduli pun, terseret ke dalam kebiasaan ini.
Penyebab toxic productivity
“Nobody ever changed the world on 40 hours a week” cuit Elon Musk di Twitter.
Tanpa kita sadari, cuitan tersebut sepertinya telah memengaruhi kita; kita begitu mengagungkan kata “produktif“. Bangga saat memiliki pekerjaan sampingan, dan mampu terus fokus bekerja, meski sudah masuk jam istirahat. Masih ditambah post video dan foto rutinitas produktif para influencer dan productivity enthusiast; membuat kata produktif semakin identik dengan terus-menerus aktif.
Toxic productivity kadang juga muncul saat berada dalam ketidakpastian. Seperti saat pandemi lalu, ketika ancaman seperti PHK membayangi hidup kita. Insting bertahan membuat kita berusaha mempertahankan diri; entah dengan berupaya lebih unggul dalam proyek, atau memperlihatkan performa tinggi, meski hal tersebut mengorbankan waktu istirahat.
Tanda-tanda toxic productivity
Secara umum, menjadi produktif itu memang baik. Ini yang kadang membuat kita kesulitan mengenali, bahwa etos kerja kita, ternyata sudah sampai pada level yang tidak sehat. Tanda toxic productivity biasanya berbeda pada tiap orang, tapi umumnya berupa:
- Memiliki standar yang tidak realistis untuk produktivitas diri sendiri dan orang lain
- Biasa atau malah menikmati saat harus bekerja lembur
- Merasa bersalah atau cemas jika pekerjaan tidak selesai seperti yang diharapkan
- Merasa bersalah jika beristirahat, terlebih jika menyadari to-do list yang dibuat belum sepenuhnya selesai
- Tidak memprioritaskan kesehatan diri sendiri (baik fisik atau pun mental)
- Terus menerus bekerja dan tidak pernah merasa puas dengan pekerjaan yang telah dilakukan
- Menyamakan nilai diri dengan produktivitas dan pencapaian
- Mudah merasa burn out
Dampak toxic productivity
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan, jika toxic productivity bisa menjadi sumber masalah kesehatan mental dan fisik, kelelahan kronis, depresi, kecemasan, dan kegelisahan.
Selain itu, toxic productivity juga dapat memengaruhi hubungan sosial. Individu yang memiliki gaya hidup ini kemungkinan besar tidak akan punya waktu atau energi bersosialisasi dengan orang lain atau menjalin hubungan yang sehat. Akibatnya, ia akan mudah merasa kesepian dan terisolasi secara sosial.
6 Cara mengatasi toxic productivity
Kita semua tentu membutuhkan istirahat, mengatasi masalah emosi yang muncul, juga menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kita sayangi. Dengan meluangkan waktu untuk hal lain selain pekerjaan, kita akan mampu mempertahankan energi dan performa yang lebih baik.
Memang terdengar klise , tapi produktivitas sebetulnya seperti seseorang yang sedang berlari maraton; dilakukan dengan kecepatan teratur, dan mengambil jeda saat diperlukan.
Jika Motivans merasa memiliki tanda atau kecenderungan toxic productivity, 6 cara berikut semoga membantu mengatasi toxic productivity:
#1. Tetapkan jam kerja
Toxic productivity biasanya menyebabkan kita bekerja keras dalam jangka waktu yang sangat lama. Untuk mengubah kebiasaan ini kita perlu menetapkan jam kerja yang jelas.
Hal ini mungkin terasa berat bagi para pekerja jarak jauh atau freelancer, yang biasanya memiliki kebebasan waktu kerja. Tapi jujur saja kebebasan menentukan waktu kerja ini justru sering membuat para remote worker bekerja berlebihan.
Penting bagi remote worker untuk mengetahui kebiasaan bekerjanya, membiasakan diri membuat prioritas, dan membangun fokus yang lebih baik agar memiliki batasan waktu kerja yang tepat.
Jika Motivans merupakan salah satu dari pekerja remote dan saat ini merasa kesulitan mengatur waktu, Motivans dapat belajar di kelas online “Time Management Mastery” dibimbing langsung oleh coach Darmawan Aji.
Bentuk materinya berupa video yang hanya berdurasi 1 jam, jadi tidak akan melelahkan untuk disimak. Ikuti tautan di bawah untuk mendaftar, ya.
Apa yang dipelajari?
- Pola pikir yang tepat supaya bisa mengatur waktu dengan efektif.
- Rahasia di balik angka 168 dan 1440 yang mengubah cara berpikir Anda tentang waktu.
- Bagaimana menemukan MVA (The Most Valuable Activities) Anda.
- Pentingnya menentukan “timing” dalam bekerja.
- Cara kita mengendalikan kalender, bukan dikendalikan olehnya.
- Cara menyusun jadwal harian supaya bisa selesaiin kerjaan -kerjaan penting lebih banyak.
- Rekomendasi jadwal harian agar kita bisa mencapai tujuan besar dalam hidup.
- Optimasi Google Calendar dengan teknik “color code labeling”
- Teknik “unscheduling” supaya hidup lebih seimbang.
Oya, 3 tips terkait menetapkan batasan waktu kerja ini mungkin juga membantu:
- Jika Motivans adalah seorang leader, maka berikan batasan yang jelas kapan mulai dan berhenti bekerja. Tapi jika Motivans adalah seorang freelancer atau remote worker dengan waktu kerja yang fleksibel, maka gunakan hasil pengamatan durasi bekerja utuk menetapkan kapan mulai dan menghentikan waktu bekerja.
- Biasakan untuk menginformasikan jam kerja Motivans.
- Normalisasi kelambatan waktu respon chat atau email.
#2. Tetapkan goals yang realistis
Toxic productivity bisa terjadi jika tidak menetapkan tujuan bekerja dengan jelas dan tidak realistis. Akibatnya Motivans akan merasa tertekan karena bekerja dalam durasi yang lama,- tapi merasa bersalah jika bekerja dengan durasi yang lebih pendek atau lambat.
Solusinya, tentu saja dengan membuat goals yang jelas, terukur, dan bisa dilakukan. Empat tips berikut bisa Motivans coba agar goals bekerja menjadi lebih jelas dan realistis.
- Gunakan SMART Goals; agar goals penyelesaian pekerjaan jelas, terukur, achiveable, realistis dan ada rentang waktu penyelesaiannya.
- Jujurlah dengan kekuatan sendiri. Membuat standar yang ideal memang mudah, tapi ingat, sempurna tidak selamanya baik. Lebih baik sedikit menurunkan standar, tapi sesuai dengan kemampuan dan target deadline tercapai. Percayalah, mengejar kesempurnaan tidak akan pernah ada selesainya.
- Jangan lupa selingi waktu bekerja dengan istirahat.
- Biasakan menyusun prioritas. Sudah tahu kan kalau tidak semua pekerjaan itu penting dan urgen? Nah, gunakan goals untuk membuat prioritas; to-do mana yang perlu didelegasikan, dikerjakan nanti, atau malah dibuang.
Artikel terkait: Cara Membedakan Penting dan Urgen
#3. Masukkan jam istirahat dalam jadwal harian
Kita semua butuh istirahat. Meski seperti counterproductive, tapi berisitahat sejenak bisa meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang karena kita lebih mudah fokus dan berpikir lebih kreatif .
Dr. Sahar Yousef , seorang neuroscientist di Universitas Californai, Berkeley menyarankan 3 macam istirahat yang sebaiknya biasa kita lakukan.
- Macro breaks, yaitu istirahat dengan durasi setengah atau sehari penuh; misalkan dengan pergi hiking, jalan-jalan, atau silaturahmi ke saudara.
- Meso breaks; istirahat 1-2 jam per minggu; misalkan dengan melakukan latihan olahraga, belajar musik, belajar menggambar, dan lain sebagainya.
- Micro breaks; istirahat dengan durasi beberapa menit selama beberapa kali dalam sehari. Motivans bisa menggunakan waktu ini untuk meditasi, melakukan stretching, atau sekedar rebahan dan tidak melakukan apa-apa. Pada saat melakukan micro breaks, sebisa mungkin jangan gunakan waktu tersebut untuk scrolling di media sosial. Ada waktunya, pikiran dan diri kita butuh benar-benar disconect dari layar gadget dan keriuhan media sosial.
#4. Do nothing
Saat terjebak dalam pusaran toxic productivity, kita akan merasa setiap menit wajib digunakan dengan maksimal. Tidak hanya mampu menyelesaikan satu pekerjaan dalam waktu satu jam, tapi kalau perlu 3 pekerjaan sekaligus.
Sayangnya, siklus produktif tersebut biasanya tidak akan bertahan lama; selain mudah lelah, karena keinginan mengejar kuantitas, kualitas seringkali jadi terabaikan.
Daripada membiasakan dengan siklus produktivitas yang tidak sehat, luangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa, atau sesuatu yang rekreasional. Rebahan sekedar bengong, meditasi, mendengarkan murotal, atau musik, jalan kaki keliling komplek (tanpa handphone), apa pun selama tujuan Motivans bukanlah “menyelesaikan sesuatu”.
#5. Temukan akar masalah
Toxic productivity kadang muncul sebagai bentuk dari permasalahan lain. Misalkan karena tidak ingin membuat anak terjebak dalam generasi sandwhich, maka kita berusaha keras mengambil side hustle ini dan itu agar target tabungan pensiun segera terpenuhi.
Salah? Tentu saja tidak; namun tetap perhatikan tanda dari tubuh. Jika memang sudah lelah, istirahatlah dulu. Cobalah lebih cerdik mencari peluang penghasilan tambahan, agar target tercapai namun tidak membuat Motivans terjebak dalam siklus produktivitas yang tidak sehat.
Ada beberapa masalah lain yang bisa menjadi akar toxic productivity, diantaranya:
- Takut gagal atau membuat kesalahan
- Imposter syndrome
- Rendah diri, merasa diri tidak berharga jika tidak mengerjakan sesuatu
- Merasa bersalah jika tidak menyelesaikan pekerjaan cukup banyak
- Tidak merasa aman dengan posisi atau job yang sedang dipegang
- Terbiasa membandingkan diri sendiri dengan orang lain
- Stres karena kondisi lingkungan atau malah personal lainnya.
#6. Menjauh dari smartphone
Smartphone saat ini memang sering melenakan; kita seolah-olah punya komputer, teman, bahkan media bermain di genggaman kita. Ya memang asik sih, saat kita butuh mendapat info baru, belanja, atau bahkan kangen teman lama, cukup menjetikkan jari, semua ada di depan mata.
Tapi sayangnya, smartphone juga bisa menjadi pengganggu dan membuat kita susah berisitirahat dengan optimal. Misalkan saat melihat status rekan satu tim yang masih bekerja saat weekend, kita jadi merasa bersalah karena tidak bekerja juga. Kita juga akan mudah merasa kurang produktif ketika melihat postingan seorang influencer tentang rutinitas produktifnya.
Semua perasaan itu bisa memicu kita bekerja berlebih dan berujung pada kebiasaan produktif yang tidak sehat.
Cobalah 4 cara berikut untuk melepaskan diri dari smartphone:
- Saat ingin lebih fokus atau lebih mindful dengan kondisi di sekitar kita, cobalah simpan smartphone dalam tas atau laci.
- Nyalakan mode “jangan ganggu” untuk memblokir notifikasi masuk.
- Jika mungkin, ciptakan satu ruangan bebas gadget.
- Hapus aplikasi management pekerjaan dari handphone, dan hanya instal di laptop atau desktop.
Bekerjalah lebih cerdas, bukan lebih keras
Kita masih dapat bekerja dengan baik tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik dan mental, serta memutus siklus toxic productivity. Dengan kesehatan fisik dan mental yang baik, kita justru mampu menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik, dan lebih berkualitas.